Follow me on Twitter!!!

Thursday, October 27, 2011

Sistem Ekonomi Indonesia

SISTEM EKONOMI INDONESIA :

GLOBALISASI EKONOMI DAN NEO LIBERALISME

Oleh Pandu Dewa Nata, 1006707210

Banyak pengamat ekonomi dan bahkan rakyat Indonesia mengatakan bahwa kebijakan ekonomi yang dibuat di pemerintahan SBY di periode kedua beraliran liberal atau neo-liberalisme. Ekonom senior Rizal Ramli dalam sebuah diskusi terbuka di Jakarta mengatakan bahwa Indonesia sebagai daerah yang kaya, punya potensi besar agar pertumbuhan perekonomiannnya tumbuh dua digit; tidak realisitis jika pemerintah tetap melakasanakan sistem ekonomi liberal (Vivanews.com, Sabtu 5 Maret 2011). Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan ekonomi liberal dan apa hubungannya dengan sistem ekonomi yang diterapkan di pemerintahan SBY jilid ke dua?

Ekonomi liberal adalah sebuah sistem ekonomi yang menyerahkan seluruh pengendalian ekonomi kepada pasar Di dalam ekonomi liberal, pemerintah tidak boleh ikut campur tangan kecuali dalam keadaan darurat. Teori ini ditemukan oleh Adam Smith. Sistem ini memberikan kekuasaan penuh pada pasar dalam menetapkan harga. Pemerintah hanya bersifat pasif. Dalam sistem ekonomi liberal ini, ada satu ciri penting yaitu terbaginya masyarakat menjadi dua golongan yaitu golongan pemilik sumberdaya dan pekerja (buruh).

Sistem ekonomi liberal di Indonesia secara langsung dipengaruhi oleh sebuah faktor penting, yaitu globalisasi. Globalisasi memungkinkan seluruh negara melakukan investasi di negara lainnya tanpa terhalang oleh batas-batas yang jelas (borderless world). Dalam globalisasi, negara yang tidak ikut serta dalam perdagangan bebas akan terkucilkan dari persaingan dunia internasional.

Indonesia, sebagai sebuah negara yang berkembang, tidak mungkin hanya diam dalam menghadapi globalisasi yang semakin cepat ini. Pemerintah mengelurakan kebijakan-kebijakan yang cenderung bersifat neoliberalisme agar dapat terus bertahan dalam era globalisasi ini. Pemerintah membuka pintu investasi kepada negara manapun yang ingin berinvestasi di Indonesia. Indonesia sebagai negara yang mempunyai sumber daya alam yang melimpah adalah sebuah surge yang sangat terbuka bagi setiap negara yang ingin melakukan investasi. Kenyataan ini juga dipermudah dengan melunaknya Pemerintah Indonesia dalam bernegosiasi dengan investor asing.

Menurut analisis saya, setidaknya ada dua hal yang menyebabkan Indonesia menjadi surga dan sebuah daya tarik yang menggiurkan bagi investor asing. Pertama, Indonesia adalah sebuah negara yang kaya akan sumber daya alam. Hampir di setiap pulau di Indonesia menghaslkan sumber daya alam. Minyak bumi, batubara, emas, tembaga dll banyak terdapat di kepulauan Indonesia. Seluruh sumber daya alam ini bagaikan sebuah harta karun bagi seorang perompak. Investor asing sangatlah ingin menguasai sumber daya alam yang berharga ini. Keadaan ini diperparah dengan minimnya tenaga ahli Indonesia yang bekerja untuk mengolah SDA ini menjadi sesuatu yang bernilai guna lebih tinggi.

Pemerintah membuka pintu bagi investor asing untuk mengelola sumber daya alam yang kita miliki. Investor asing pun berdatangan. Mereka mengajukan diri dan mengajukan jasa mereka sebagai tenaga ahli yang akan membantu tenaga-tenaga ahli Indonesia dalam mengelola SDA tsb. Tetapi, pemerintah kita sangatlah lunak (jika tidak ingin dikatakan sebagai pihak yang dikendalikan) kepada investor. Pemerintah hanya menyetujui seluruh kontrak yang diajukan investor tanpa mengkajinya lebih dalam. Dalam hal ini, pemerintah juga mempunyai kepentingan dalam hal memperoleh pendapatan guna membayar hutang ke pada bank dunia yang sampai saat ini masih tidak bisa dihitung jumlahnya. Sayang seribu sayang, karena tidak dikaji lebih dalam, lagi-lagi pemerintahan kita bagaikan ‘dicucuk hidungnya’. Balas jasa yang diberikan investor asing dalam hal pengelolaan SDA tidak sebanding dengan jumlah SDA yang mereka kelola, bahkan yang disetor ke pemerintah lebih kecil dan mungkin hanya beberapa persen saja. Ini terjadi dalam kasus kita dengan Freeport di Papua; pemerintah hanya mendapat sepersekian persen dari perusahaan pengelola emas dan tembaga tersebut.

Faktor kedua adalah murahnya tenaga kerja (buruh) di Indonesia. Di periode kedua pemerintahan SBY, nasib buruh tidaklah berubah, bahkan menjadi lebih buruk. Tenaga kerja (buruh) tidak hanya yang bekerja di pabrik, tetapi TKW kita (yang dijuluki Pahlawan Devisa) juga disebut buruh. Nasib kedua jenis buruh tsb tidaklah berbeda. Buruh yang bekerja di pabrik tetap saja mendapat upah yang murah dari pemegang modal. Alasan utama pemegang modal adalah, mereka hanya berpendidikan rendah, jadi sesuai jika dibayar rendah juga. Realita ini memang benar adanya. Buruh-buruh kita memang kebanyakan berpendidikan rendah sehingga hanya bisa dibayar rendah. Pemerintah telah membuat kebijakan tentang upah minimum regional, tetapi tetap saja buruh mendapat gaji dibawah UMR. Realita ini merupakan sebuah paradoks bagi pemerintah. Di satu sisi, buruh tetap harus mendapat kesejahteraan, di sisi lainnya pendidikan mereka tidak memadai untuk mendapat upah yang tinggi.

Apa yang bisa dilakukan oleh buruh? Hanya satu kata: demonstrasi. Itulah yang hanya mereka bisa lakukan. Selain itu juga ada upaya turunan dari demonstrasi, yaitu mogok kerja. Hanya itu yang mereka bisa lakukan. Mereka hanya bisa menyuarakan keinginan-keinginan mereka kepada pemerintah dan pemegang modal. Apa yang bisa dilakukan pemerintah dalam menanggapi ini? Kementrian tenaga kerja dan transmigrasi hanya bisa berjanji dan berjanji tanpa yakin bisa merealisasikan yang mereka janjikan. Seakan departemen ini merupakan sebuah rumah pengaduan bagi tenaga kerja (buruh) kita yang diperlakukan tidak adil oleh pemilik modal.

Nasib buruk ini juga tidak hanya menaungi buruh kita yang bekerja di dalam negeri. TKW kita yang bekerja di luar negeri sebagai pembantu rumah tangga juga mendapatkan nasib yang serupa, dan kadang lebih buruk. Mereka yang digadang-gadang sebagai pahlawan devisa, tidak jarang mendapat perlakuan kasar dan bahkan pulang hanya tinggal nama dan diangkut dengan sebuah peti mati.

Inti permasalahan TKW ini tidak berbeda dengan buruh kita yang bekerja di dalam negeri. Mereka tidak mempunyai tingkat pendidikan yang cukup sehingga majikan mereka merasa pantas membayar rendah atau lebih buruk lagi tidak digaji. Keadaan ini juga diperburuk dengan status mereka yang lebih sering illegal daripada legal. Tekanan tidak hanya didapat dari majikan, tapi juga dari pihak keamanan dan imigrasi daerah tujuan. Status mereka yang ‘abu-abu’ ini meningkatkan resiko terhadap keselamatan mereka. Secara logis, kenyataan ini wajar mereka dapatkan.

Dalam menanggapi masalah TKW ini, apa yang dilakukan pemerintahan SBY di periode kedua ini? Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi hanya lagi-lagi (bisa) berjanji. Departemen pengaduan buruh dan tenaga kerja ini hanya menjadi tempat pengaduan, tanpa bisa merealisasikan moratorium yang telah dijanjikan sebelumnya. Jadi, wajarlah jika masih ada TKW dan buruh kita mendapat nasib yang sangat miris dan menyakitkan. Inilah yang disebut pengelompokan golongan dalam ekonomi liberal, ada majikan (pemegang modal) ada juga buruh (pekerja/TKW).

Saya juga ingin mengkritisi sebuah kebijakan pemerintahan SBY di periode kedua ini, khususnya kebijakan tentang pembatasan subsidi BBM. Tujuan pemerintah memang sangatlah baik dalam membatasi subsidi BBM premium ini, yaitu agar penyaluran BBM bersubsidi tepat sasaran. Pemerintah memang sangat memperhatikan hal ini karena hampir sebagian besar penikmat BBM bersubsidi adalah orang yang berkemampuan tinggi.

Kebijakan pembatasan BBM yang ditunda ini memang mencerminkan pemerintah belum siap dalam mengimplementasikan pembatasan subsidi BBM tsb. Pemerintah memang harus mengkaji lagi lebih dalam kebijakan ini. Ini harus dilakukan agar kebijakan ini tidak menjadi sebuah kebijakan yang salah dan merugikan masyarakat.

Menurut pendapat pribadi saya, ada yang salah jika pemerintah menerapkan kebijakan ini. Pemerintah mungkin terlalu memperhatikan golongan masyarakat kelas bawah, sehingga lupa dengan masyarakat menengah ke atas. Pemerintah memperhatikan harga premium yang disubsidi tetapi pemerintah melupakan harga BBM non subsidi (Pertamax) yang harus dibeli masyarakat yang mampu. Memang, Pertamax merupakan BBM yang harganya dipengaruhi oleh pasar minyak dunia yang kadang bisa naik dan juga bisa turun. Pemerintah juga berpendapat bahwa Pertamax bukan domain pemerintah dalam subsidi. Saya ingat, Hatta Rajasa, Menteri Koordinator perekeonomian pernah berujar “yang mampu sudahlah tidak usah mengemis untuk menggunakan bbm bersubsidi”. Jujur, ini sangat menyinggung perasaan orang yang mampu.

Jelas menyinggung, karena harga Pertamax yang melambung tinggi bahkan sekarang mencapai Rp 8800,00/liter sangatlah berat juga untuk dibeli oleh orang yang mampu. Pemerintah tidak berperan dalam menangani hal ini. Agar sukses dalam mengimplementasikan kebijakan pembatasan BBM bersusbsidi, pemerintah paling tidak melakukan subsidi terhadap BBM non subsidi ini. Mungkin subsidinya tidak sebesar premium, tapi tetaplah harus disubsidi jika ingin kebijakan pembatasan BBM ini bisa berhasil. Jika tidak disubsidi, secara psikologi ekonomi, orang yang mampu pasti akan kembali beralih ke premium dan efeknya, subsidi premium jebol lagi. Intinya, subsidi terhadap Pertamax harus dilakukan agar kebijakan pembatasan BBM bisa sukses dan tepat sasaran.

Jika kita analisis lebih dalam lagi, berdasarkan pasal 33 UUD 1945 ayat 2 yang berbunyi “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”, sangat bertolak belakang dengan realita yang ada di negara kita. Sebagai contoh, dalam hal perusahaan yang menangani produksi minyak bumi di Indonesia. Pada pemerintahan SBY baik periode pertama dan kedua, banyak perusahaan minyak bumi dari luar Indonesia yang melakukan investasi di negara kita ini. Sebut saja, Shell, Petronas, dan Total. Kehadiran tiga perusahaan minyak bumi asing ini jelas akan mempengaruhi nilai tawar dari Pertamina. Secara langsung, pemerintah telah melepas dominasi pemerintah terhadap minyak bumi yang diwakili oleh Pertamina. BUMN seperti Pertamina tidaklah mau untung tersaingi dan menjadi korban dari ekonomi global, maka Pertamina pun akan bersaing dengan ketiga perusahaan minyak bumi asing tsb. Inilah yang disebut liberalisme ekonomi, persaingan yang kadang merugikan rakyat sendiri, bagaikan dijajah oleh penguasa dalam negeri. Mungkin ini tidak akan sampai kepada kartel terhadap harga BBM, tetapi kemungkinan persaingan yang tidak sehat akan terbuka lebar. SPBU asing dan Pertamina akan saling bersaing dalam meraih simpati masyarakata kita.

Sebagai kesimpulan, negara kita memang telah menjadi korban ekonomi liberalisasi yang berasaskan globalisasi. Pemerintah yang dulu menggadang-gadang ekonomi demokrasi, telah gagal mewujudkannya. Sekarang kita hanya bisa berharap agar disisa pemerintahan SBY jilid dua ini yang tinggal 3,5 tahun lagi dapat mewujudkan janji-janji politik ekonomi yang merakyat dan menguntungkan dalam negeri disbanding pihak asing. Mengapa saya bilang kita hanya bisa berharap? Karena pemerintah seakan tuli terhadap teriakan rakyat dan buta terhadap penderitaan rakyat yang semakin lama semakin miris dan menyakitkan.

Referensi

Adji, Wahyu. Ekonomi Jilid 1. Jakarta: Erlangga 2007

Diktat Mata Kuliah Sistem Ekonomi Indonesia, Fisip UI, Depok 2008

No comments: